Pengertian Madrasah Diniyah


Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.

Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.


Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.


Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.


Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Ciri-ciri Madrasah Diniyah

Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:

  1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
  2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
  3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
  5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
  6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.

Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.

Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.

Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
  1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
  2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”. Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.

Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.

Kurikulum Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.

2 komentar:

Suka dengan blog MKI ini ? jangan lupa like beserta komentarnya di tunggu ya .... terima kasih.